Wednesday 19 September 2018

Ketika Pariwisata Mulai Diperdebatkan (Lagi)

23:48



Saat ini pariwisata mulai menjadi andalan perekonomian di hampir seluruh pelosok negeri. Hampir semua kalangan dari berbagai bidang saat ini mulai tertarik untuk bicara pariwisata. Jika pada era terdahulu pariwisata hanya menjadi perbincangan bagi para pelaku industri dan tenaga-tenaga pengajar di berbagai akademi pariwisata, maka saat ini dari kalangan non-pelaku pun akan menjadi bersemangat saat berbicara tentang kepariwisataan. Hal ini tentu menjadi motivasi tersendiri bagi mereka yang telah sejak lama menggeluti pariwisata. Karena dengan berkembangnya pegiat-pegiat pariwisata maka ilmu pariwisata pun menjadi semakin memiliki nilai di mata berbagai kalangan. Namun di balik kegairahan tersebut, ada hal yang sedikit disayangkan. Para peminat pariwisata yang berasal dari non-pelaku dan yang pada awalnya tidak beranjak dari keilmuan pariwisata (vokasional maupun akademik), seringkali kurang memiliki latar belakang pengetahuan yang cukup untuk berbicara tentang pariwisata. Hal ini sedikit banyak mengundang polemik bagi para akademisi bidang pariwisata.

Salah satu polemik yang mengemuka antara lain dari segi terminologi. Banyak kalangan non-pariwisata yang berbicara pariwisata, masih berkutat untuk mempermasalahkan terminologi yang digunakan. Mulai dari istilah pariwisata, tourism, wisatawan, perbedaan pariwisata dengan rekreasi, dan banyak lagi. Istilah-istilah yang sebetulnya sudah selesai diperbincangkan oleh kalangan akademisi dan para pelaku pariwisata di masa yang sudah silam. Ketika para akademisi pariwisata sudah beranjak pada penelitian-penelitian yang bersifat menemukan solusi-solusi dan inovasi-invoasi di bidang kepariwisataan, kalangan non-pariwisata malah ada yang baru mempermasalahkan istilah tourism itu apakah harus melibatkan pergerakan secara geografis ataukah tidak? Bahkan mereka beranggapan karena kata yang membentuk istilah tourism mengandung akhiran -ism, maka timbul pemikiran bahwa tourism hanyalah merupakan suatu isme yang bisa berlangsung walau hanya di alam pikiran.

Jika saja para pembicara, pemikir dan peneliti kepariwisataan itu bisa memahami dulu konsepsi dasar dari pariwisata, maka tentu pemikiran-pemikiran sedemikian tidaklah perlu mengemuka. Memang ada sikap-sikap kritis yang perlu diterapkan dalam mengkaji suatu keilmuan, namun tidaklah berarti kritisi diajukan tanpa memahami konsepsi dasarnya terlebih dahulu.

Apabila timbul pemikiran dari kalangan non-pariwisata bahwa tourism bisa berlangsung walau hanya di alam pikiran (isme), maka tidak akan ada perbincangan mengenai pemberdayaan masyarakat, kelestarian lingkungan, investasi lokal, maupun pembangunan-pembangunan daya tarik wisata di setiap destinasi. Apalah artinya berwisata di alam pikiran jika itu tidak membawa devisa bagi negara tujuan? Tidak membawa manfaat dan keuntungan bagi masyarakat lokal? Jika demikian pemahaman tentang konsep tourism, maka manfaat apa yang akan dibawa oleh pariwisata selain berkhayal di negara masing-masing, di kamar masing-masing?

Perlu dipahami bahwa para peneliti dari kalangan non-pariwisata tersebut bahwa munculnya konsep kepariwisataan adalah diawali dengan fenomena-fenomena pergerakan manusia secara geografis. Fenomena-fenomena tersebut kemudian menjadi kajian-kajian ilmiah yang pada gilirannya melahirkan suatu ilmu kepariwisataan. Jadi bukan sebaliknya. Argumen-argumen keilmuan dalam pariwisata pun sudah banyak berkembang hingga muncul konsep-konsep seperti sustainable tourism, eco-tourism, cultural tourism, dan sebagainya. Dalam tataran yang lebih praktis kita bisa melihat munculnya konsep-konsep homestay, local guide, dan juga wisata kuliner, yang pada pokoknya merupakan konsep-konsep dalam kepariwisataan yang bisa mendatangkan manfaat langsung bagi masyarakat. Jika pariwisata bisa dilakukan hanya di alam pikiran saja, apakah mungkin akan ada wisata kuliner? Mungkin bisa. Apabila hanya mengkhayalkan rasa makanan lokal yang menggiurkan itu.

Badan-badan kepariwisatan dunia pun (seperti World Tourism Organization) sudah banyak melakukan konferensi dan konvensi yang menghasilkan rumusan-rumusan dalam bidang kepariwisataan. Antara lain WTO menekankan ‘10 Global Code of Ethics for Tourism’ yang memuat nilai-nilai universal. Nilai-nilai etika itulah yang hendaknya diusung oleh para pelaku pariwisata. Termasuk tentunya oleh akademisi.

Polemik lainnya yang cukup menonjol adalah dari aspek nilai-nilai kepariwisataan. Salah satu nilai dalam kepariwisataan adalah adanya nilai pelayanan, atau banyak juga yang mengenalnya sebagai nilai hospitaliti. Para pelaku pariwisata yang sudah berkecimpung dalam industri ini cukup lama, akan sangat memahami bahwa nilai hosptaliti ini seolah menjadi jiwa dalam kegiatan pariwisata. Bagi para akademisi dan peneliti dari kalangan non-pariwisata, sedikit sekali (atau bahkan tidak pernah) menyentuh aspek-aspek pelayanan atau nilai hospitaliti dalam bahasan-bahasannya. Terlihat cukup banyak kajian-kajian dari bidang ilmu lain yang membahas pariwisata, banyak mengemukakan konsep-konsep yang dianggap baru dan merupakan terobosan, namun sebetulnya tidak mengandung nilai-nilai kepariwisataan khususnya nilai hospitaliti. Kita bisa melihat dengan mudahnya muncul konsep-konsep seperti ‘wisata kemiskinan’ atau jenis-jenis wisata lain yang begitu mudah mengemuka. Hal tersebut memang bisa dianggap sebuah konsep baru (pada masanya) dalam kajian jenis wisata. Namun nilai-nilai etika daya tarik wisata tidak sepenuhnya diterapkan pada konsep-konsep wisata sedemikian.

Fenomena-fenomena tersebut tentunya harus menjadi bahan refleksi bagi kita semua, terutama bagi para akademisi dan para peneliti di bidang kepariwisataan. Bagi mereka yang sejak awal memang sudah beranjak dari bidang keilmuan kepariwisataan tentunya hal tersebut hendaknya menjadi pemacu semangat untuk terus melahirkan pemikiran-pemikiran segar dan cerdas dalam bidang kepariwisataan. Di situlah kesempatan para akademisi dari kalangan pariwisata untuk memelihara pemikiran-pemikiran yang didasarkan pada konsepsi dasar, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai kepariwisataan. Bisa jadi dengan langkanya pemikiran-pemikiran yang mengemuka dari kalangan pariwisata maka merebaklah pemikiran-pemikiran kepariwisataan yang muncul dari para akademisi dari kalangan non-pariwisata. Demikian pula bagi para akademisi kalangan non-pariwisata hendaknya berkolaborasilah dalam setiap penelitiannya bersama dengan para akademisi dari kalangan pariwisata. Hal ini tentunya diharapkan akan menambah bobot dan kualitas artikel-artikel ilmiah yang akan dibuat, menjadikannya penelitian yang valid dan kredibel karena melibatkan peneliti yang memang sesuai dengan bidangnya.

Pada akhirnya, tulisan ini tentu akan berpegang pada kajian-kajian perkembangan ilmu pariwisata. Dalam kajian-kajian perkembangan ilmu pariwisata kita bisa memahami bahwa pariwisata merupakan bidang ilmu interdisiplin yang mencakup begitu banyak ragam keilmuan lain yang membentuknya. Ada irisan-irisan yang seringkali begitu kuat antara dua atau bahkan lebih bidang keilmuan ketika mengkaji tentang kepariwisataan. Sehingga dengan demikian tulisan ini tidaklah ditujukan untuk menciptakan dikotomi antara dua kalangan. Sesuai dengan sifatnya yang interdisiplin, tentunya dalam setiap kajian pariwisata ada dua spektrum (definitely tourism dan definitely not tourism) di mana kajian kita akan bereksplorasi di antara kedua spektrum tersebut. Tulisan ini pada akhirnya hendak mengajak para peneliti untuk lebih memperkuat upayanya dalam melibatkan konsepsi-konsepsi dasar kepariwisataan ketika hendak membuat suatu kajian. Tentu saja kolaborasi antar bidang keahlian akan memperkuat bobot dari kajian-kajian yang dilakukan.

Photo by David Clode on Unsplash

Posted by

Adrian Agoes, MM.Par a post graduate on Tourism Administration is now a lecturer at a tourism school in Bandung. His experiences are vary from being a tour leader visiting remote places in Indonesia, to being a travel photographer.

 

© 2013 Pemasaran Pariwisata. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top