Tuesday 9 October 2018

Tantangan Lembaga Pendidikan Pariwisata di Era Digital Tourism

19:30



Perkembangan industri pariwisata sudah tidak bisa mengelak dari kemajuan dunia digital dan teknologi informasi yang begitu pesat. Mulai dari sisi operasional hingga pemasaran di bidang pariwisata saat ini sudah harus mengadopsi teknologi di bidang informasi tersebut. Pekerjaan-pekerjaan seperti reservasi, pembayaran, dan juga promosi produk-produk pariwisata sudah harus dilakukan secara digital dan juga daring (online). 

Demikian pula dengan pengembangan pariwisata di Indonesia. Saat ini kebijakan dari Kementerian Pariwisata Republik Indonesia sudah mengarah pada digital tourism. Bahkan di dalam program prioritas Kementerian Pariwisata di tahun 2017 ini, yang menempati urutan pertama adalah Digital Tourism (E-Tourism). Menteri Pariwisata Republik Indonesia, Arief Yahya pun menegaskan bahwa jawaban dari tuntutan global di bidang pariwisata adalah dengan digital tourism. Hal ini antara lain melihat bahwa kurang lebih 70 persen wisatawan saat ini sudah menggunakan sarana digital untuk aktivitas wisatanya. 

Dalam pengertian umum Digital Tourism bisa didefinisikan sebagai dukungan digital terhadap pengalaman wisatawan, baik sebelum, saat berlangsung maupun sesudah kegiatan wisata (pre travel, during travel, post travel). Proses yang umum diterapkan saat ini adalah dari proses promosi digital, reservasi digital, kemudian informasi dan petunjuk arah / peta saat sedang berada di destinasi, juga proses pengunggahan foto-foto liburan dan saran-saran yang dilakukan secara digital (Benyon et al, 2014). Hal ini dapat dirumuskan sebagai proses ‘pra-wisata’, ‘wisata’, dan ‘pasca-wisata’.

Dengan berkembangnya digital tourism sedemikian pesatnya, maka lembaga-lembaga pendidikan pariwisata di Indonesia pun menghadapi tantangan yang tak kalah hebat. Mampukah lembaga-lembaga pendidikan pariwisata di Indonesia menghadapi era Digital Tourism?

Digital Tourism di Indonesia
Jika menilik kiprahnya, terlihat bahwa para pelaku industri pariwisata di Indonesia sudah cukup siap untuk mengikuti perkembangan digital tourism tersebut. Hotel-hotel di Indonesia saat ini sudah beralih dari sistem distribusi melalui agen perjalanan  menuju ke sistem online reservation. Dari sisi agen perjalanan wisata juga sudah berkembang perusahaan-perusahaan online travel agency (OTA), seperti Traveloka yang diprakarsai pengusaha pariwisata Indonesia. Demikian pula halnya dengan pelaku usaha tour operator (biro perjalanan wisata). Ada beberapa tour operator yang saat ini sudah beroperasi penuh secara digital dengan melakukan transaksi dan kerja sama dengan para travel agencies secara digital / daring. Hal serupa juga dikembangkan oleh Telkom yakni dengan mengembangkan ITX. Bahkan ada asosiasi di bidang usaha perjalanan wisata yang juga mengembangkan platform digitalnya sendiri seperti Triptara.

Di tengah maraknya digital tourism tersebut, baik secara global maupun nasional di Indonesia sendiri, terlihat bahwa proses kegiatan digital tourism sejauh ini masih menitikberatkan pada proses ‘pra-wisata’ dan ‘pasca-wisata’. Yakni sebelum wisatawan datang ke destinasi (Indonesia), dan setelah berwisata di Indonesia. Proses digital tourism yang saat ini berkembang masih pada tataran promosi dan reservasi. Baik itu penjualan tiket pesawat, paket wisata, maupun voucher hotel, serta proses pengunggahan foto dan proses saran (review). Dengan demikian, di dalam industri perjalanan wisata ini yang terlihat memegang peranan justru adalah para pakar-pakar teknologi informasi, bukan dari tenaga-tenaga kerja lulusan kepariwisataan. Demikian pula halnya dengan lembaga pendidikan yang terlihat akan berkiprah tentunya dari lulusan-lulusan lembaga pendidikan teknologi informasi. Melihat perkembangan sedemikian rupa, lalu bagaimanakah lembaga-lembaga pendidikan pariwisata menjawab tantangan di era digital tourism ini? 

High Tech/High Touch
Meminjam pemikiran John Naisbitt, bahwa dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat (high tech), manusia akan merindukan sentuhan-sentuhan manusiawi lebih tinggi lagi (high touch). Menilik penerapan konsep digital tourism seperti dipaparkan di atas, maka dalam proses pengalaman wisatawan pada saat proses wisata itu sendiri, para wisatawan akan merasakan peningkatan pengalaman justru dari sentuhan-sentuhan manusiawi. Sejauh ini digital tourism dalam proses pelaksanaan wisata, baru menyentuh proses-proses dalam pencarian informasi (google map, qrave, dll.), reservasi, dan juga proses pengunggahan foto-foto. Namun dari sisi pelayanan baik itu di hotel, restoran, maupun pelayanan perjalanan wisata, peran digital tourism dirasakan masih terbatas. Digital tourism belum bisa mencapai taraf ‘meningkatkan pengalaman wisatawan’ sebagaimana diharapkan (enhancing tourist experience). Maka dalam hal ini peran dari sumber daya manusia di bidang kepariwisataan masih sangat krusial. 

Untuk itu dengan perkembangan pesat dalam penerapan teknologi digital di industri pariwisata ini tentu harus diiringi dengan perkembangan kemampuan tenaga kerja yang akan terjun di dunia pariwisata tersebut. Di sinilah peran dari lembaga pendidikan pariwisata sangat diharapkan.

Pengalaman-pengalaman para wisatawan pada saat wisata, akan dirasakan pada titik-titik penting di mana ia bersentuhan dengan layanan manusiawi (moment of truth). Antara lain saat tiba di bandara, diantar oleh kendaraan wisata, check in di hotel, dilayani di restoran, dilayani pemandu wisata, bahkan saat mereka berinteraksi dengan para pedagang cindera mata maupun penduduk lokal di destinasi yang ia tuju. Lembaga pendidikan pariwisata sangat menitikberatkan pada aspek-aspek sentuhan layanan tersebut. 

Tentunya titik-titik yang menjadi perhatian utama dari Lembaga Pendidikan Pariwisata adalah pada aspek-aspek layanan formal yakni di bidang layanan perjalanan, perhotelan dan juga restoran. Lembaga pendidikan pariwisata harus mampu mencetak insan-insan pariwisata yang memiliki kompetensi dan juga karakter yang mampu meningkatkan pengalaman para wisatawan. Salah satu aspek penting yang menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan pariwisata adalah bagaimana memelihara kualitas sumber daya manusia di bidang kepariwisataan dari segi attitude. Lembaga pendidikan pariwisata harus tetap memelihara agar lulusan-lulusannya bisa memiliki sikap-sikap profesional yang diperlukan saat melayani wisatawan. Bagaimana memelihara grooming agar tetap terlihat rapi, bersahaja dan profesional. Bagaimana memelihara sikap greeting agar mampu menarik hati wisatawan. Serta bagaimana memelihara senyuman dan keramahtamahan agar wisatawan merasa betah. Secara keseluruhan, bagaimana memelihara kompetensi para lulusan agar mampu bersikap secara profesional di bidang pariwisata.

Inilah tantangan sesungguhnya dari lembaga-lembaga pendidikan pariwisata dalam menghadapi era digital tourism. Kebijakan untuk menggalakkan digital tourism di Indonesia akan mengarah pada kedatangan wisatawan mancanegara dalam jumlah yang begitu besar (target 20 juta wisatawan di tahun 2019). Tentunya dalam menyambut wisatawan dengan jumlah sedemikian besar, diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni untuk bisa melayaninya secara memuaskan. Tanpa adanya SDM profesional yang bisa melayani wisatawan saat berada di Indonesia (during travel), tentunya digital tourism menjadi tidak ada artinya lagi. Tantangan sesungguhnya dalam pariwisata di Indonesia adalah saat melayani wisatawan dan memberikan mereka pengalaman yang tak terlupakan (enhancing tourist experience). Itu akan sulit jika diandalkan pada digital tourism semata. Inilah peran dari lembaga pendidikan pariwisata yakni untuk menjaga aspek high touch dari industri pariwisata di Indonesia.

Selain itu, peran lembaga pendidikan pariwisata pun tidak terbatas pada aspek layanan formal. Dari sisi tri dharma perguruan tinggi, pengabdian masyarakat juga bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan para pelaku dalam industri pariwisata yang bersifat non-formal. Hal ini bisa dilakukan dengan mengadakan penyuluhan dan pelatihan bagi para pedagang cindera mata, sopir kendaraan umum, dan juga dalam aspek layanan non-formal lainnya yang bersentuhan langsung dengan wisatawan. Lembaga pendidikan pariwisata sangat diharapkan akan mampu berperan secara lebih optimal dalam mempersiapkan pariwisata Indonesia dari aspek 'high touch' tersebut. 

Meski penekanan dari lembaga pendidikan pariwisata adalah pada aspek 'high touch', namun tidak bisa dipungkiri lagi bahwa penyiapan dari aspek 'high tech' pun harus menjadi perhatian. Dari sisi tenaga pendidik juga dari sisi kurikulum, sudah saatnya lembaga pendidikan pariwisata memperbaharui diri dengan pengetahuan-pengetahuan berkenaan dengan teknologi informasi. Pemahaman digital tourism pun harus segera ditanamkan dalam diri tenaga-tenaga pendidik pariwisata. Hal ini penting karena mereka perlu juga mentransfer pemahaman tersebut pada para peserta didik mereka. Ke depannya diharapkan para lulusan dari lembaga-lembaga pendidikan pariwisata akan memiliki kompetensi dalam aspek 'high touch' di bidang pelayanan pariwisata, namun juga memiliki bekal yang mumpuni dalam aspek 'high tech' itu sendiri.

Photo by Lonely Planet on Unsplash

Posted by

Adrian Agoes, MM.Par a post graduate on Tourism Administration is now a lecturer at a tourism school in Bandung. His experiences are vary from being a tour leader visiting remote places in Indonesia, to being a travel photographer.

 

© 2013 Pemasaran Pariwisata. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top