Thursday 11 February 2016

Strategi Pemasaran Pariwisata Indonesia

15:17

http://static1.squarespace.com/static/54375f25e4b07ecd37a558db/t/55e5497ae4b02deb84914c6c/1441089918468/?format=750w

Tantangan pengembangan pariwisata khususnya dari segi pemasaran telah diungkapkan secara khusus oleh I Gde Pitana, Deputi Pemasaran Pariwisata Mancanegara, Kementerian Pariwisata Indonesia di hadapan para peserta INTERNATIONAL WORKSHOP “TOURISM MARKETING STRATEGY: LESSON LEARNED FROM ASIAN COUNTRIES” di Bali (12-13 November 2015). Berdasarkan data Kementerian Pariwisata Indonesia, setidaknya ada 200-an lebih destinasi wisata di negara ini yang sudah teridentifikasi secara resmi. Meski begitu menurut Travel and Tourism Competitiveness Report 2015 oleh World Economic Forum (WEF), di ASEAN, Indonesia masih menempati peringkat 4 setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Padahal daya tarik wisata di ketiga negara tersebut bahkan mungkin tidak sampai seperempatnya dari Indonesia.

Lonjakan Target Kunjungan Wisman Guna meningkatkan pencapaian di bidang pariwisata, pemerintah telah menetapkan target sebanyak 12 juta wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia sepanjang tahun 2015 ini. Pencapaian tertinggi kunjungan wisman ke Indonesia terjadi pada tahun 2014 lalu yakni sebanyak 9.4 juta wisatawan, naik sekira 7% dari tahun 2013 yang mencapai 8.8 juta wisman. Dengan demikian, target tahun 2015 naik sekira 30% dari tahun 2014. Suatu lonjakan yang sangat drastis dibandingkan kenaikan sebelumnya.

Dengan lonjakan target sebesar itu, tentu pertanyaan yang dikemukakan Pitana menjadi sangat bisa dipahami, yakni: Strategi pemasaran pariwisata Indonesia seperti apa yang harus diterapkan untuk pencapaian target wisman di Indonesia? Apakah yang harus dipromosikan adalah pariwisata Indonesia ataukah destinasi-destinasi tertentu saja?

Jika merujuk pada pengalaman, Kementrian Pariwisata Indonesia menemukan bahwa Indonesia terlalu samar untuk pasar wisman. Para wisman lebih merasa akrab dengan destinasi-destinasi wisata seperti Yogyakarta dengan Borobudur, Keraton dan Prambanannya, atau tentunya Bali dengan kebudayaan dan pantainya. Destinasi-destinasi seperti itulah yang merupakan produk yang kongkrit bagi para wisman. Dengan demikian pertanyaan yang dikemukakan tersebut di atas sangatlah penting karena untuk mencapai target yang fantastis itu diperlukan strategi yang sangat tepat.

Strategi Indonesia Sebagai Korporasi 

Menurut konsep strategi dari Porter, Indonesia bisa ditempatkan pada tataran Corporate Strategy. Strategi Pemasaran Pariwisata Indonesia sebagai korporasi hendaknya ditekankan pada pembangunan brand sebagai sebuah negara dengan penekanan pada aspek-aspek strategis tertentu. Aspek-aspek yang hendaknya dibangun citranya bisa mengacu pada pilar-pilar penentu daya saing pariwisata Indonesia yang peringkatnya paling rendah dalam Tourism Competitivness Index dari WTO. Untuk tahun 2013 hingga 2015 bisa dilihat lima aspek terendah mencakup Safety and Security, ICT Readiness, Tourist Service Infrastructure, Health and Hygiene, serta Environmental Sustainability. Sehingga strategi korporasi Indonesia hendaknya berkonsentrasi pada perbaikan aspek-aspek tersebut. Diharapkan brand Indonesia sebagai sebuah negara yang mengusung pariwisata akan meningkat. Pada tataran selanjutnya, strategi yang perlu diterapkan adalah Business Strategy, yang ditekankan pada destinasi-destinasi unggulan sebagai bagian ‘unit-unit bisnis’ dari Indonesia corporated.

Strategi Niche Market Oleh Pemerintah Daerah 

Unit-unit bisnis yang dimaksud adalah destinasi wisata unggulan. Business Strategy hendaknya dilimpahkan pada tataran setingkat di bawah korporasi, dalam hal ini para pemerintah daerah (pemda). Sehingga, dalam pelaksanaan strategi pemasaran dan promosi dari destinasi-destinasi unggulan akan lebih terfokus. Pemda-lah yang mesti lebih memahami strategi bisnis yang tepat dalam mengelola sumber daya tarik wisata yang dimilikinya, guna mencapai target kunjungan yang telah ditetapkan.

Ada proposisi menarik yang ditawarkan oleh Dr. Qu Xiao dari Hong Kong Polytechnic University dalam international workshop tersebut di atas, yakni tentang cara meraih pasar Tiongkok. Qu Xiao mengemukakan betapa market Tiongkok sebetulnya memiliki karakter yang beragam. Di sana ada begitu banyak suku bangsa yang memiliki karakter-karakter tertentu. Selain itu, Qu Xiao juga memaparkan dinamika demografis dengan munculnya generasi baru di negeri itu yakni generasi 90-an. Intinya, ia menekankan bahwa untuk meraih pasar wisatawan outbound Tiongkok, gunakanlah strategi pemasaran pariwisata Indonesia niche market. Bukan mass tourism. Ia menekankan seandainya Indonesia mampu meraih nol koma nol nol sekian persen saja dari market outbound tourists di Tiongkok, itu sudah merupakan jumlah yang fantastis, mengingat populasi penduduk di negara itu yang mencapai milyaran jiwa.

Saat menyusun Business Strategy pun hendaknya pemda melihat fakta tersebut. Keragaman sumber daya tarik wisata Indonesia merupakan suatu keunggulan signifikan ketika akan menerapkan strategi niche market. Indonesia bisa menawarkan banyak ragam niche product bagi segmen-segmen pasar yang terfokus. Meski jumlah wisatawan niche market kecil, namun dikalikan ragam niche product yang begitu banyak. Dalam kata-kata Pitana diungkapkan bahwa, “Indonesia can’t sell everything to everyone anymore. We’d end up selling nothing to no one.”

Strategi Fungsional oleh Pelaku Bisnis

 Pada tataran Functional Strategy, pihak yang paling relevan untuk melaksanakannya adalah para pelaku bisnis. Diwakili asosiasi, para pelaku bisnis hendaknya didorong untuk menciptakan program-program dan produk-produk berkualitas sejalan dengan strategi pemasaran pariwisata Indonesia yang diterapkan pemerintah. Pada akhirnya para pelaku bisnis merupakan ujung tombak dari seluruh kegiatan pariwisata yang digalakkan oleh pemerintah. Dalam konsep service marketing, kepuasan tamu merupakan strategi pemasaran yang paling utama. Jika peran pelaku bisnis terabaikan, sangat boleh jadi proses strategi pemasaran pariwisata di Indonesia akan menjadi tidak utuh.

Kuantitas vs Kualitas Wisman

Meski Indonesia sudah menargetkan kunjungan sebanyak 12 juta wisman pada tahun 2015, dan secara mengejutkan 20 juta wisman pada 2019, namun Pitana mengingatkan bahwa kita pun harus juga memikirkan kualitas wisman tersebut. Dalam workshop tersebut Vikneswaran Nair Ph.D, Vice President dari Malaysian Ecotourism Association, menyampaikan tentang hal ini dengan ungkapan, “1 billion tourists, 1 billion opportunities. 1 billion bad tourists, 1 billion problems.

Merujuk pada laporan WTO, kita bisa melihat India yang pada tahun 2013 mendatangkan 6.9 juta wisman, mampu mendapatkan devisa pariwisata sebesar USD 18,953 juta. Bandingkan dengan Indonesia, pada tahun yang sama mendatangkan 8.8 juta wisman namun mendapatkan devisa pariwisata lebih kecil yakni USD 10,054 juta. Devisa pariwisata bukan hanya tentang jumlah kunjungan wisman, namun juga dipengaruhi faktor lama tinggal wisman dan jumlah belanja wisman tersebut.

Jika demikian, apakah mungkin Indonesia sebetulnya perlu memikirkan ulang strategi pemasaran pariwisatanya?

Posted by

Adrian Agoes, MM.Par a post graduate on Tourism Administration is now a lecturer at a tourism school in Bandung. His experiences are vary from being a tour leader visiting remote places in Indonesia, to being a travel photographer.

 

© 2013 Pemasaran Pariwisata. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top