Monday 28 July 2014

Komodifikasi Kebudayaan Oleh Pariwisata

08:30

“Kebudayaan mengalami komodifikasi di dalam industri pariwisata.” Apa sebenarnya maksud dan makna pernyataan tersebut? Apabila dilihat dari konsep komodifikasi, unsur-unsur kebudayaan mana sajakah yang rentan mengalami komodifikasi?

Jika berbicara mengenai komodifikasi, maka sebetulnya kita merujuk pada paham kapitalisme yang dikemukakan oleh Karl Marx. Dalam Encyclopedia of Marxism, dikemukakan pengertian komodifikasi adalah sebagai berikut:

Komodifikasi berarti transformasi hubungan, sebelumnya bersih dari perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran, membeli dan menjual.
"Komodifikasi" sebetulnya adalah istilah yang baru muncul ke percaturan pada tahun 1977, tetapi mengungkapkan konsep fundamental untuk memahami Marx tentang cara kapitalisme berkembang. Dalam karyanya yang terkenal Marx dan Engels menjabarkan proses tersebut tahun 1848 dalam karya mereka yang terkenal the Communist Manifesto:

“The bourgeoisie has torn away from the family its sentimental veil, and has reduced the family relation into a mere money relation.”
Hal ini menunjukkan bahwa istilah komodifikasi memiliki pengertian yang cenderung mirip dengan komersialisasi. Yakni menjadikan sesuatu tidak lagi dinilai dari aspek sentimentil, namun sudah dinilai semata-mata dengan nilai uang.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam sistem pariwisata, komponen penting yang paling utama adalah adanya daya tarik wisata. Daya tarik wisata ini (ODTW) di dalamnya ada yang terkategori sebagai aspek-aspek kebudayaan. Contohnya seperti tarian, desa adat, cara hidup, upacara adat, tarian, dsb. Karena banyak wisatawan yang datang dengan motivasi karena tertarik dengan ODTW budaya tersebut, maka lambat laun masyarakat praktisi kebudayaan tersebut merasakan juga adanya manfaat dan keuntungan dari kunjungan para wisatawan tadi.

Maka dari itu, ada kecenderungan bahwa kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang dikunjungi wisatawan, menjadi tetap ada dan terpelihara bukan lagi atas sebab awal yakni karena nilai-nilai kemasyarakatan, keakraban, dan kekeluargaan. Pada gilirannya, kebudayaan-kebudayaan itu jadi tetap ada dan terpelihara, namun karena nilai-nilai keuntungan.

Jika merujuk pada konsep komodifikasi, maka yang tercabut dari kegiatan tersebut adalah nilai-nilai kekeluargaan dan keakraban tadi. Sesuai dengan yang disampaikan Tylor bahwa kebudayaan itu merupakan suatu kerumitan atas hubungan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat. Jadi jika memang dinilai terjadi adanya komodifikasi terhadap kebudayaan, tentu bukan hanya dari beberapa unsur kebudayaan saja, namun pada dasarnya semua aspek pembentuk kebudayaan itulah yang rentan mengalami komodifikasi.

Pariwisata Mengkomodifikasi Atau Melestarikan Kebudayaan?

Namun dari sudut pandang lain, bisa saja ada pandangan bahwa kebudayaan itu sengaja disajikan kepada wisatawan, bukan untuk mengkomodifikasi kebudayaan, namun sebagai salah satu cara kebudayaan itu untuk bisa ‘survive’. Bisa dikatakan pelaku kebudayaan itu ‘mengorbankan’ sedikit nilai, demi menjaga nilai-nilai lain yang masih tersisa dan masih begitu berharga.

Apa yang terlihat sekilas dalam industri pariwisata, mungkin saja bisa dikatakan komodifikasi kebudayaan. Biasanya para pelaku kebudayaan menyebut komodifikasi kebudayaan atas kegiatan mencomot suatu aspek kebudayaan (misalnya kesenian, tarian, upacara adat), untuk bisa dipertontonkan kepada wisatawan, yang waktu kunjungannya sangat terbatas. Seringkali aspek kebudayaan itu kemudian dimodifikasi sehingga waktu tayangnya lebih singkat, ceritanya lebih sederhana, atau peralatan yang digunakan juga tidak terlalu lengkap. Jika ada aspek kebudayaan yang seharusnya diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu, namun agar wisatawan lebih mudah melihatnya, maka dibuatlah kegiatan kebudayaan itu dengan waktu yang disesuaikan ketersediaan waktu si wisatawan.

Jika itu yang terjadi, mungkin ketika dilaksanakan, maka nilai-nilai yang melatarbelakangi kegiatan kebudayaan itu memang bergeser. Kegiatan kebudayaan yang tadinya dilatarbelakangi nilai religi, atau penghormatan kepada leluhur, upacara adat, sekarang tidak lagi. Nilai yang dominan adalah nilai komersial, yakni agar mendapatkan uang.

Pariwisata Menghidupkan Kebudayaan Yang Punah

Namun perlu diingat juga oleh para pelaku kebudayaan, bahwa sudah banyak kebudayaan yang punah karena sudah tidak ada lagi pemakainya. Tentu saja para pelaku kebudayaan akan segera meninggalkan kebudayaannya tersebut jika sudah dianggap tidak lagi memberikan manfaat bagi para pelakunya. Jika sudah ditinggalkan tentu kebudayaan itu akan punah.

Komodifikasi seperti yang sering dituduhkan kepada para pelaku pariwisata, sebetulnya merupakan statement paradox. Selama ini cukup banyak contoh dari kegiatan kebudayaan seperti tarian, seni rupa, maupun upacara-upacara adat, yang kembali digali dan dipraktekan oleh suatu kelompok masyarakat, justru karena mereka melihat bahwa ada orang-orang (wisatawan) yang tertarik untuk menyaksikannya. Jika tidak ada wisatawan yang dibawa oleh para pelaku pariwisata untuk menyaksikan pertunjukkan kebudayaan tersebut, apakah para pegiat kebudayaan bisa yakin bahwa masyarakat akan tetap mempraktekan kebudayaannya tersebut?

Bahkan bisa saja lunturnya nilai-nilai kebudayaan itu bukan karena dipertunjukkannya terhadap wisatawan. Bisa saja lunturnya nilai-nilai itu memang karena masyarakatnya sudah perlahan-lahan meninggalkan kebudayaan mereka sendiri, karena sudah dianggap tidak ada manfaatnya. Salah satu faktor yang paling kuat tentu saja adalah globalisasi.

Pariwisata Memberi Identitas Lokal Dalam Globalisasi

Dengan adanya globalisasi, nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat di seluruh dunia sudah kian melebur. Maka dengan atau tanpa pariwisata pun kemungkinan besar nilai-nilai kebudayaan di kalangan masyarakat bisa saja bergeser. Ini sebetulnya bisa terlihat jika kita mencoba berkunjung ke katakanlah desa-desa atau pelosok-pelosok daerah di Indonesia saja. Di sana kita akan melihat betapa jajanan anak-anak sudah sama dengan jajanan anak-anak di Singapura atau bahkan Amerika, betapa mainan yang mereka mainan sudah sama dengan di Prancis atau Afrika sekalipun. Pakaian yang mereka kenakan pun sama dengan kita dan orang-orang lain di belahan bumi ini. T-shirt dan Jeans.

Kemudian apa yang dilakukan oleh pariwisata? Pariwisata mencoba menggali apakah di desa-desa dan pelosok-pelosok itu masih ada tersisa peninggalan kebudayaan-kebudayaan khas di daerah tersebut? Jika ternyata ada, maka Pariwisata mencoba mengemasnya - tidak seasli seperti semestinya - namun dengan penyesuaian di sana sini agar Pariwisata bisa membawa wisatawan untuk menyaksikannya. Agar aspek kebudayaan itu bisa mudah untuk dinikmati para wisatawan. Alhasil, masyarakat pun berlomba-lomba untuk menjadi orang paling tradisional di desa-desa tersebut. Walaupun memang motivasinya tidak terlalu ideal (apalagi di mata para pegiat budaya). Namun setidaknya kebudayaan itu bisa membiayai hidupnya sendiri agar bisa tetap lestari.

Posted by

Adrian Agoes, MM.Par a post graduate on Tourism Administration is now a lecturer at a tourism school in Bandung. His experiences are vary from being a tour leader visiting remote places in Indonesia, to being a travel photographer.

 

© 2013 Pemasaran Pariwisata. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top