Wednesday 23 July 2014

Apakah buzzer di Medsos Berpengaruh Pada Followers-nya?

08:30


Kalau kamu sedang membaca tulisan ini agaknya kamu termasuk orang yang mawas media sosial (medsos). Kali ini saya ingin membahas tentang sebuah penelitian terkait influencer, misalnya orang-orang dengan akun twitter yang followers-nya banyak. Hasil penelitian ini dimuat dalam Harvard Business Review edisi Mei 2013. Adapun pertanyaan penelitiannya adalah apakah para seleb atau buzzer atau biasa disebut 'influencer' ini benar-benar bisa mempengaruhi followers-nya dalam mengambil keputusan (pembelian misalnya)? Apakah pengambilan keputusan kita dipengaruhi oleh rekomendasi teman-teman kita kebanyakan atau tidak?

Salah satu contoh yang dikemukakan dalam artikel yang ditulis oleh Sinan Aral (asisten profesor di NYU Stern School of Business) ini adalah Ashton Kutcher. Pada awal 2013 akun twitter Ashton "aplusk" telah memiliki 13.7 juta follower. Sekarang sudah mencapai 16 jutaan. Kutcher dianggap sudah memenuhi kriteria seleb medsos atau influencer. Dalam suatu seminar Sinan Aral mengajukan pertanyaan pada peserta, berapa banyak di antara hadirin yang mem-follow Ashton Kutcher? Hampir semua peserta angkat tangan. Namun saat ditanya: berapa orang sih yang melakukan sesuatu sesuai apa-apa yang disarankan (di-tweet) Ashton? Seringkali tidak ada satupun yang angkat tangan. Jadi Ashton Kuthcer seorang influencer tapi tak seorang pun yang melakukan apa yang disarankannya, lalu dalam hal apa ia berpengaruh?

Ternyata, kalau di dalam istilah statistik, kita seringkali bingung antara hubungan korelasi dengan hubungan kausalitas. Dua hal atau peristiwa yang berjalan berbanding lurus bisa jadi hubungannya korelasi. Bukan kausalitas. Ada kaitannya, tapi belum tentu secara langsung saling terpengaruh.

Dalam ilmu sosial hubungan korelasi seperti itu istilahnya adalah 'homophily'. Orang-orang cenderung memiliki preferensi yang sama dengan orang-orang yang seperti mereka. Artinya preferensi kita, minat kita, dan perilaku kita sangat sejalan (correlated) dengan teman-teman kita yang satu kohor (cohort). Kita menonton acara yang sama pada saat yang sama, membeli produk yang sama pada saat yang sama. Kita juga mengunjungi web yang sama, terekspos pada iklan yang sama. Kita juga akan pergi ke cafe yang sama. Semuanya mencerminkan pengaruh sosial tapi bisa jadi tidak ada kaitannya dengan itu.

Contohnya ketika ada penelitian yang mengungkapkan semakin tinggi tingkat pendidikan di suatu negara, semakin tinggi tingkat pendapatan per kapitanya. Ini belum tentu juga tingkat pendidikan secara langsung mempengaruhi tingkat pendapatan. Atau di dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita sedang gandrung dengan barang-barang retro, ternyata kita dapati teman-teman kita juga senang membeli barang-barang dengan desain retro. Apakah kita terpengaruh oleh teman-teman kita? Atau teman-teman kita mempengaruhi kita?

Nah, penelitian yang dilakukan itu kurang lebih ingin mengungkapkan masalah pengaruh mempengaruhi tersebut di dalam dunia pergaulan sosial kita.

Eksperimen yang dilakukan adalah dengan membagi peserta menjadi tiga kelompok. Kelompok satu diminta mengunduh sebuah app dan memiliki kesempatan mengundang (merekomendasi) teman-temannya untuk ikut juga mengunduh app tersebut. Kelompok kedua, saat mengunduh app itu akan ada notifikasi otomatis ke teman-temannya. Kelompok yang ketiga hanya mengunduh saja. Hasilnya adalah, mereka yang mendapat undangan dari teman-temannya tiga kali lebih banyak yang ikut mengunduh app tersebut dibanding yang mendapat notifikasi otomatis.

Dari eksperimen tersebut dapat juga terungkap fakta-fakta lain sebagai berikut:

  • Pria lebih influential (mampu mempengaruhi) dibanding wanita.
  • Wanita mempengaruhi pria lebih dari mempengaruhi wanita lain.
  • Orang-orang 30 tahun ke atas lebih influential dibanding mereka yang lebih muda.
  • Orang-orang 30 tahun ke atas lebih sulit terpengaruh dibanding mereka yang lebih muda.
  • Orang-orang menikah lebih sulit terpengaruh dibanding orang-orang single.
  • Orang-orang yang lebih influential lebih sulit terpengaruh.
  • Orang-orang yang lebih mudah terpengaruh lebih sulit untuk mempengaruhi (tidak influential).
Selain itu, dalam penelitian lain selanjutnya, mereka juga mencari tahu bagaimana perusahaan bisa memberi insentif bagi user untuk membantu merekomendasikan produk mereka. Perusahaan yang diuji coba adalah perusahaan pengiriman bunga online. Ada tiga jenis insentif yang ditawarkan. Group pertama mendapat $10 atas setiap teman yang ia rekomendasi (insentif egois). Group kedua tidak mendapat apa-apa saat ia merekomendasi temannya yang akan mendapat diskon $10 (insentif baik hati). Group ketiga akan mendapat $5 saat merekomendasi temannya yang akan mendapat diskon $5 (insentif adil).

Hasilnya mengejutkan! Ternyata 'insentif baik hati' dan 'insentif adil' menghasilkan rekomendasi yang lebih banyak dibandingkan 'insentif egois'. Wah, kelihatannya orang-orang tidak nyaman men-spam teman-temannya kecuali mereka benar-benar yakin memberikan manfaat pada orang yang dikirimi informasinya tersebut.

Dari hasil-hasil penelitan tersebut di atas, saya melihatnya bahwa meski seorang seleb twitter sekalipun, tidaklah terlalu mempengaruhi keputusan-keputusan followers-nya. Terlihat bahwa pengaruh itu jika pun ada, akan lebih banyak didapat dari rekan-rekan sejawatnya (peer group) yang memiliki kesamaan-kesamaan tertentu dalam karakteristiknya.

Itulah dia sahabat, beberapa pengetahuan tambahan untuk kita kali ini. Walaupun hasil penelitian itu tidak serta merta bisa kita terapkan untuk segala macam jenis produk, namun saya rasa tetap akan ada gunanya dalam menentukan langkah-langkah pemasaran kita ya. Sampai jumpa.

Posted by

Adrian Agoes, MM.Par a post graduate on Tourism Administration is now a lecturer at a tourism school in Bandung. His experiences are vary from being a tour leader visiting remote places in Indonesia, to being a travel photographer.

 

© 2013 Pemasaran Pariwisata. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top